Rabu, 06 April 2011

Alkisah, pada negeri antah berantah berdiri sebuah kerajaan. Kerajaan tersebut dipimpin oleh seorang raja yang ternyata memiliki kegemaran berburu. Suatu hari, Raja berburu ke hutan ditemani penasehat dan pengawalnya. Saat berburu Ia mengalami kecelakaan. Jari kelingking tangan kiri raja terpotong oleh pisau yang sangat tajam akibat terlalu ceroboh.
Raja meringis sedih. Melihat kesedihan sang Raja, Penasehat bersimpati seraya berusaha menghibur dengan kata-kata manis. Namun, kata-kata manis tak jua mampu mengobati duka, sang Raja tetap bersedih.Penasehat akhirnya berkata, ”Baginda mulia, apapun yang terjadi menimpa kita, patutlah disyukuri dan menjadi renungan”. Mendengar ucapan si penasehat, raja ternyata tak terima malah menjadi murka.
”Kurang ajar engkau”, ucap Raja dengan wajah memerah.
Penasehat terkejut bukan main. Maksud hati memberi kalimat bijaksana malah murka raja didapat.
”Maafkan saya Baginda, Hamba memang tak bijak dalam berkata”. ungkap Penasehat memelas.
”Engkau keterlaluan, Saya mendapat musibah bukannya dihibur, malah Engkau suruh bersyukur pula”. Kata Raja dengan nada menuding. Kekesalannya nampak jelas dari raut wajahnya yang tegang.
Akhirnya karena terlalu murka, Raja tak mengindahkan ampunan penasehatnya. Keputusan segera diambil, lantang nian mengajari bersyukur dikala kemalangan menimpa dalam benak sang Raja. Kekesalan hati tak bisa di obati.
”Punggawa, segera tangkap penasehatku, kurung ia dalam penjara istana, biar ia merasakan kemalangan”, titah sang Raja segera diamini oleh sejumlah punggawa disekelilingnya.
”Ampuni hamba Baginda, Ampuuun”. Mohon penasehat kepada sang Raja.
”Huh..luka pedang bisa sembuh dalam sehari, luka kata abadi di hati, Penjarakan dia..tiga tahun…cepaatt!”
Raja tak bergeming lantas meninggalkan penasehatnya dirantai. Hutan itu kembali senyap, jejak kaki berkuda telah pergi. Tinggallah tangisan penasehat dalam sayup yang makin jauh. Bilangan hari terlewati, ternyata hilangnya kelingking tidak membuat raja berhenti berburu. Kegemarannya telah mendarah daging dan sulit untuk dilunturkan. Hingga, pada suatu hari, sang Raja beserta penasehat baru dan rombongan punggawa pergi lagi berburu ke hutan. Hutan kali ini terletak di perbatasan negeri. Jarang orang yang melewatinya karena keangkerannya. Namun karena kijang dan rusa banyak terdapat di sana, niatan sang Raja mau tak mau harus diwujudkan. Pergilah mereka di pagi hari dengan menunggang kuda.
Ketika sampai di tengah hutan, mereka beristirahat melepas lelah. Pohon-pohon besar nampak seperti tiang istana memagari rombongan. Sinar matahari pun bagai larik-larik memancar dari sela-sela kanopi dedaunan di atas. Udara dingin dan remang cuaca meliputi mereka di tempat tersebut. Tiba-tiba, “syut..syut..syuuut..”, sejumlah anak panah melesat masuk mengenai kepala dan badan sejumlah punggawa. Kejadian ini membuat rombongan panik, hujan anak panah menggetarkan hati. Hal ini membuat, Raja dan penasehat melarikan diri. Mereka berlari jauh, meninggalkan teriakan kesakitan para punggawa yang sekarat di belakang. Mereka berpisah dengan pengawal bersenjata. Kemalangan nampaknya ada di depan mata.
Sejurus kemudian, mereka berhadap- hadapan dengan gerombolan suku primitif. Rumbai alang- alang berujung tengkorak menghiasai penutup kepala mereka, sedang kulit mereka hitam legam. Mereka berbicara dengan bahasa tak dikenal. Mengoceh lalu berteriak ramai. Sejumlah pria berbadan kekar bersenjata tombak batu lalu menghambur ke depan. Menerkam raja dan memukul dengan beringas. Raja dan penasehat pingsan seketika.
Ketika tersadar, mereka berdua telah berada di sebuah gua besar. Gua ini terang benderang oleh obor kayu. Jelaga hitam tampak memenuhi langit-langit goa berbatu. Keramaian bagai memekakkan telinga. Karena inilah mereka terbangun.
”Penasehat, ada dimana kita?”, tanya sang Raja lirih.
”Entah Baginda, tapi nampaknya alamat buruk”. Jawab penasehat pelan dan bergetar ketakutan. Mereka berdua terikat erat , sedang dihadapnya terbentang kolam api merah menyala. Wanita berjubah tampak menari dan tertawa sambil menyalakan sejenis dupa menebar aroma busuk disekeliling. Sedang sejumlah anggota suku berjingkrak-jingkrak kesurupan dibuai rasa mistis. Seram dan menakutkan. Tak lama, dua orang anggota suku mengangkat tubuh Raja dan Penasehat ke wanita tersebut. Penasehat dilirik, diperhatikan seolah mencari tahu detail tubuhnya. Begitu juga dengan sang Raja. Keduanya lalu dimandikan.
Penasehat yang pertama dimandikan, lalu setelah selesai, dua orang lelaki bertopeng mengangkatnya lantas melumurinya dengan ramuan dari sebuah tong dekat pemandian. Tak menunggu lama, ia langsung dilempar ke kolam api di ddepannya. Teriakan kesakitan menyayat hati membahana seiring ledakan bahagia dari penghuni gua. Kini giliran sang Raja.
Aneh bin ajaib, ketika sang Raja dimandikan, tiba-tiba wanita tua tersebut berteriak setengah ketakutan. Seakan- akan dikejar makhluk buas penghuni neraka. Semuanya diam, dalam detik menegangkan antara hidup dan mati, Raja tak ubahnya sesosok putih terbujur kaku. Wanita tersebut, berkata dan mengoceh, beranjak ke pemandian, menarik tangan kiri sang Raja, dengan bahasa yang tidak dimengerti. Wanita tua itu berteriak lagi, tampak dua pria kekar menarik,mengangkatnya, lalu memanggul sang Raja setengah berlari keluar dari Gua.
Disebuah jurang, tubuh lemah sang Raja dibuang ke sungai dibawah. “Byuuuurr….”
Pada sebuah pagi, petani tua menemukan tubuh sang Raja negerinya di tepian sungai dekat petak sawah garapan keluarga. Dibantu anak cucunya, Raja dibopong lalu dihangatkan di dalam pondok petani tersebut. Keesokan harinya, baru lah sang Raja tersadar. Ia bersyukur masih bisa bernafas dan menikmati kebebasannya.
Rupanya, setelah berbincang- bincang dengan Petani tua tersebut, didapatlah sebuah cerita. Tentang sekelompok suku kanibal pemuja dewa api di hutan larang itu. Suku itu suka memakan manusia dan mengorbankan untuk diserahkan kepada Dewa-dewa mereka. Banyak orang yang telah menjadi korban keganasan suku tersebut. Dari cerita-cerita leluhur mereka, suku itu adalah sebenarnya manusia yang dikutuk karena angkuh dan sombong serta suka sewenang- wenang kepada sesama.
”Pada saat mereka akan mengorbankan seseorang, harus dengan syarat yakni seluruh anggota tubuh harus utuh tidak ada yang kurang, bahkan bekas lecet atau luka tidak bolah ada”, cerita sang Petani berapi- api.
”Jadi itulah mungkin, yang membuat diriku dibebaskan”, aku sang Raja. “Terimakasih Tuhan”, katanya lagi.
Akhirnya, dengan diantar petani, Raja kembali ke istana. Upacara selamatan digelar lima hari lima malam menyambut kedatangan sang Raja kembali. Pengalaman itu lalu mengajarkan Raja untuk bersyukur terhadap apa yang menimpa dirinya. Ia membebaskan penasehat lamanya.
”Penasehatku, aku berterima kasih kepadamu, nasehatmu ternyata benar. apa pun yang terjadi patut disyukuri. karena hilangnya jari kelingkingku waktu itu membuat aku bisa kembali dengan selamat”. Ungkap Raja dengan penuh perenungan.
Raja pun menceritakan kejadiannya secara lengkap. Setelah mendengar cerita dari sang raja, si penasehat tiba- tiba berlutut sambil berkata, “Terima kasih baginda, saya pun bersyukur baginda telah memenjarakan saya, karena kalau tidak, mungkin yang menjadi persembahan kepada para dewa itu adalah saya”. Perkataan ini disambut gelak tawa Baginda dan seisi istana. Kebahagiaan kembali menceriahkan keluarga besar Raja dan rakyat. Sang Raja menjadi lebih bijaksana.

0 komentar:

Translate

Entri Populer

Total Pengunjung

Pengikut